Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 06 Agustus 2013

Nias



Nīas (Indonesian: Pulau Nias, Nias language: Tanö Niha) is an island off the western coast of Sumatra, Indonesia. Nias (Kepulauan Nias) is also the name of the archipelago, including the small Hinako Islands.


Isolated yet worldly, the Nias Island chain has been trading since prehistory with other cultures, other islands, and even mainland Asia. Some historians and archaeologists have cited the local culture as one of the few remaining Megalithic cultures in existence today. While this point of view is hotly debated, there is no doubt that Nias' relative geographic isolation has created a unique culture. As a culture of traders, the people of Nias find tourists to be a welcome – and historically familiar – phenomenon.
 
 
Nias ceremonial stone jump.
Nias is best known for its diversity of festivals and celebration. The most well-known events are War Dances, performed regularly for tourists, and Stone Jumping, a manhood ritual that sees young men leaping over two meter stone towers to their fate. In the past the top of the stone board is covered with spikes and sharp pointed bamboo. The music of Nias, performed mostly by women, is noted worldwide for its haunting beauty.
Gunungsitoli is home to Nias's only museum, the Museum Pusaka Nias (Nias Heritage Foundation), which houses over 6000 objects related to Nias's cultural heritage. The museum had recently built a new building and had improved their storage and exhibitions when the 2004 earthquake and tsunami occurred. The museum suffered some damage to the grounds and collections, but museum staff are working to recover from this devastating event
The predominant religion is Protestant Christianity. Six out of seven Niasans are Protestant; the remainder are about evenly divided between Muslim (mostly immigrants from elsewhere in Indonesia) and Catholic. However adherence to either Christian or Muslim religions is still largely symbolic; Nias continues into current day celebrating its own indigenous culture and traditions as the primary form of spiritual expression.
The people of Nias build omo sebua houses on massive ironwood pillars with towering roofs. Not only were they almost impregnable to attack in former tribal warfare, their flexible nail-less construction provide proven earthquake durability.
Nias is home not only to a unique human culture but also endemic fauna which differ from other areas of North Sumatra because of the island's remote location separate from Sumatra.

Nias is an internationally famous surfing destination. The best known surfing area is Sorake Bay, close to the town of Teluk Dalam, on the southern tip. Enclosed by the beaches of Lagundri and Sorake, the bay has both left and right-hand breaks. As they wait for waves, surfers can often see sea turtles swimming below. There are also two consistent, world-class waves in the nearby Hinako Islands, Asu and Bawa. Many lesser-known, high-quality surf spots with low crowds await adventurous travelers.
Nias was part of the famous Hippie trail of the 1960s, particularly traveled by surfers, which led to Bali. It has been the site of several international surfing competitions in the past, particularly before the 1998 Indonesian Reformation Movement.
Despite the storied history of surfing in Nias, international surfing in Nias has slowed down especially (but not specifically) due to the recent earthquakes. The situation is slowly changing, however.

http://en.wikipedia.org/wiki/Nias


Selasa, 08 Januari 2013

Parahyangan Agung Jagatkartta


Melihat kemegahan dan keagungan Pura, tidak perlu datang jauh-jauh ke Bali. Di daerah Bogor, Jawa Barat terdapat Pura (tempat ibadah agama Hindu) yang megah dan indah yang berlatarkan Gunung Salak, Pura Parahyangan Agung Jagatkartta namanya. Pura Parahyangan Agung Jagatkartta merupakan Pura terbesar ke dua yang terletak di Pulau Jawa setelah Pura Besakih di Bali. Pura ini terletak di Kampung Warungloa,Desa Tamansari , Kecamatan Tamansari, di lereng Gunung Salak. Nah, Biasanya, sebuah mendirikan bangunan mempunyai maksud tertentu. Disini pembangunan candi tersebut sebagai simbol penghormatan kepada leluhur tanah Sunda. Pemerintahannya dengan sesanti Tata Tentram Kerta Raharja, yang telah membawa masa keemasan bagi Padjajaran, kerajaan Hindu terakhir di Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan berdasarkan penghormatan kepada ajaran leluhur Sang Hyang Dharma dan Sang Hyang Siksa. Masa jaya ini berlangsung selama pemerintahan beliau tahun 1482-1521, dan dilanjutkan oleh putranya yaitu Raja Surawisesa. Semua ini tertera pada Prasasti Batu bertulis dijalan batu-tulis Bogor , yang dibuat tahun Caka1455 atau 1533 SM.

Rabu, 19 Desember 2012

Kerajaan Siak Sri Inderapura

Dokumen foto-foto ini sempat hilang sewaktu pindahan kos :) sempat tidak bisa dibuka. Kenangan ketika di Riau 2005-2010 sangat banyak, tapi banyak yang hilang. mulai cerita perjalanan. foto-foto perjalanan. namun saya sedikit lega bisa berbagi sama temen-temen. Sebenarnya ada cerita singkat dari pemandu yang saya rekam dengan hape Nokia 9300., Namun memorinya hilang dicuri beserta HP, tapi HP Sony Ericcson K810 tidak dicuri dan file foto sempat saya copy ke CDrom. Nah, berikut ini cerita berdasarkan sumber yang saya ambil dari wikipedia

Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.

Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.

Perkembangan agama Islam di Siak, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.

Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun pengaruh Minangkabau dengan identitas matrilinealnya masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.

Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau, kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal. Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil. Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil dalam Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang

Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri, yang ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.

Sebelumnya dari catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi. Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673), yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.

Pada tahun 1718 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor, namun pada tahun 1722 terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas tahta Johor, dibantu oleh pasukan bayaran dari Bugis. Akhir dari peperangan ini, Raja Sulaiman mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di pedalaman Johor, sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan kemudian tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura. Sementara pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor diakui oleh komunitas Orang Laut, kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan kepulauan membentang dari timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan dan loyalitas ini terus bertahan sampai kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.

Dengan klaim sebagai pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya dan atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.

Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan dan mulai membangun kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya. Ancaman dari Siak, serta di saat bersamaan Johor juga mulai tertekan oleh orang-orang Bugis yang meminta balas atas jasa mereka. Hal ini membuat Raja Sulaiman pada tahun 1746 meminta bantuan Belanda di Malaka dan menjanjikan memberikan Bengkalis kepada Belanda, kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.

Sepeninggal Raja Kecil tahun 1746, klaim atas Johor memudar, dan pengantinya Sultan Mahmud fokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vazal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan. Walau kemudian muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya Raja Ismail, tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.

Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.

Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor, sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.

Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis, di mana dalam deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yang rakus akan kekayaan dunia.

Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah dan emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.

Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.

Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri. Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yang berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.

Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris. Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda, setelah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858. Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan Residen Riau pemerintahan Hindia-Belanda.

Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya. Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah. Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia-Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau.Namun di tengah tekanan tersebut Kesultanan Siak masih mampu tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia,walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.

Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.

Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, setelah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya. Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar
2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar

Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yang berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial Belanda atau Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat Jabatan merupakan dokumen resmi Siak Sri Inderapura yang dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tidak khianat kepada sultan dan nagari.

Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id. Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda.

Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dalam pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendarhari Sriwa Raja yang bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan.

 Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara Patapahan.

Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.

Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yang dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.

Setelah temen-temen membaca, sedikit saya tambahkan bahwa, di dalam istana banyak sekali kenangan-kenangan dari kerajaan lain di sini. Nanti dapat anda lihat melalui foto-foto dibawah ini...
Yang paling terkesan masuk disini adalah, melihat dalam ruangan istana terdapat cermin kristal. Katanya bisa awet muda loh... heheheh
Trus dilbelakang istana itu ada itu terdapat sumur yang umurnya sudah mencapai ratusan tahun. katanya juga, bagi pengunjung yang cuci muka disini bisa awet muda.


Suport

Senin, 17 Desember 2012

Prambanan Temple

Candi Prambanan or Candi Rara Jonggrang is a 9th-century Hindu temple compound in Central Java, Indonesia, dedicated to the Trimurti, the expression of God as the Creator (Brahma), the Preserver (Vishnu) and the Destroyer (Shiva). The templ
e compound is located approximately 18 kilometres (11 mi) east of the city of Yogyakarta on the boundary between Central Java and Yogyakarta provinces.

The temple, a UNESCO World Heritage Site, is the largest Hindu temple in Indonesia, and is one of the largest Hindu temples in Southeast Asia. It is characterized by its tall and pointed architecture, typical of Hindu temple architecture, and by the towering 47-metre-high (154 ft) central building inside a large complex of individual temples. One of the most majestic temples in Southeast Asia, Prambanan attracts many visitors from across
the world.

Construction
The Prambanan temple compound amid the morning mist.

Prambanan is the largest Hindu temple of ancient Java, and the construction of this royal temple was probably started by Rakai Pikatan as the Hindu Sanjaya Dynasty's answer to the Buddhist Sailendra Dynasty's Borobudur and Sewu temples nearby. Historians suggest that the construction of Prambanan probably was meant to mark the return of the Hindu Sanjaya Dynasty to power in Central Java after almost a century of Buddhist Sailendra Dynasty domination. Nevertheless, the construction of this massive Hindu temple signifies that the Medang court had shifted the focus of its patronage from Mahayana Buddhism to Shivaist Hinduism.
A temple was first built at the site around 850 CE by Rakai Pikatan and expanded extensively by King Lokapala and Balitung Maha Sambu the Sanjaya king of the Mataram Kingdom. According to the Shivagrha inscription of 856 CE, the temple was built to honor Lord Shiva and its original name was Shiva-grha (the House of Shiva) or Shiva-laya (the Realm of Shiva). According to Shivagrha inscription, a public water project to change the course of a river near Shivagrha Temple was conducted during the construction of the temple. The river, identified as the Opak River, now runs north to south on the western side of the Prambanan temple compound. Historians suggest that originally the river was curved further to east and was deemed too near to the main temple. The project was done by cutting the river along a north to south axis along the outer wall of the Shivagrha Temple compound. The former river course was filled in and made level to create a wider space for the temple expansion, the space for rows of pervara (complementary) temples.

Some archaeologists propose that the statue of Shiva in the garbhagriha (central chamber) of the main temple was modelled after King Balitung, serving as a depiction of his deified self after
death. The present name Prambanan, was derived from the name of Prambanan village where the temple stood, this name probably being the corrupted Javanese pronunciation of "Para Brahman" ("The Supreme Brahman").

The temple compound was expanded by successive Mataram kings such as Daksa and Tulodong with the addition of hundreds of perwara temples around the chief temple. Prambanan served as the royal temple of the Kingdom of Mataram, with most of the state's religious ceremonies and sacrifices being conducted there. At the height of kingdom, scholars estimate that hundreds of brahmins with their disciples lived within the outer wall of the temple compound. The urban center and the court of Mataram were located nearby, somewhere in the Prambanan Plain

In the 930s, the court was shifted to East Java by Mpu Sindok, who established the Isyana Dynasty. An eruption of Mount Merapi volcano, located north of Prambanan in central Java, or a power struggle probably caused the shift. That marked the beginning of the decline of the temple. It was soon abandoned and began to deteriorate.

The temples themselves collapsed during a major earthquake in the 16th century. Although the temple ceased to be an important center of worship, the ruins scattered around the area were still recognizable and known to the local Javanese people in later times. The statues and the ruins become the theme and the inspiration for the Loro Jonggrang folktale. After the division of Mataram Sultanate in 1755, the temple ruins and the Opak River were used to demarcate the boundary between Yogyakarta and Surakarta (Solo) Sultanates.

The Javanese locals in the surrounding villages were aware of the temple's existence already before rediscovery. However, they didn't know about its historical background: which kingdoms ruled or which king commissioned the construction of the monuments. As a result, the locals developed tales and legends trying to explain the origin of temples, infused with myths of giants, a cursed princess, and thus gave Prambanan and Sewu a wondorous origin said to be created by multitude of demons under the order of Bandung Bondowoso, according to Loro Jonggrang legend.
The temple officially caught the international attention in early 19th century. In 1811 during Britain’s short-lived rule of the Dutch East Indies, Colin Mackenzie, a surveyor in the service of Sir Thomas Stamford Raffles, came upon the temples by chance. Although Sir Thomas subsequently commissioned a full survey of the ruins, they remained neglected for decades, with Dutch residents carting off sculptures as garden ornaments and native villagers using the foundation stones for construction material.

Half-hearted excavations by archaeologists in the 1880s merely facilitated looting. Reconstruction of the compound began in 1918, and proper restoration only in 1930. Efforts at restoration continue to this day. The reconstruction of the main Shiva temple was completed around 1953 and inaugurated by Sukarno. Since much of the original stonework has been stolen and reused at remote construction sites, restoration was hampered considerably. Shrines were only rebuilt if at least 75% of their original masonry was available. Most of the smaller shrines are therefore now only visible in their foundations, with no plans for their reconstruction existing.
Wikipedia

Minggu, 29 April 2012

Semarang Night Carnival 2012

Semarang Sabtu 28 April 2012 Aku sibuk memempersiapkan untuk menyaksikan Semarang Night Carnival 2012. Banyak yang aku siapkan, antara lain camera Fujifilm Finepix S4000, batu baterai 4 pcs, dan tripot.  sekitar pukul 15.30 Aku segera meninggalkan sekolah melalui tangga dan berlari, karena aku melihat beberapa peserta sudah terlihat mengenakan kostum dari lantai dua gedung SD Marsudirini Jl. Pemuda. Aku tidak ingin tertinggal acara demi acara, sempat acara tahun lalu banyak yang terlewatkan.  Aku tiba di lokasi Jl. Pemuda, tepatnya di depan Balai Kota. Banyak petugas mempersiapkan untuk acara besar seperti ini, banyak terlihat komunitas fotografi salah satunya KFS (Komunitas Fotografi Semarang) mencari obyek untuk difoto. Satu per satu mereka mengambil foto peserta karnaval dalam menyambut HUT Kota Semarang ke 465. Semakin sore semakin banyak peserta yang datang turun dari mobil pengantar. Aku pun mulai beraksi mencari obyek. Tempat pertama untuk obyek adalah di SMA 3 Semarang, yang terletak di depan Balai Kota Semarang. Terlihat peserta-peserta yang cantik dengan busana bermotifkan bunga dengan dominan warna hijau. Sangat anggun dan mempesona. Jam di HP N9500 menunjukan pukul 16.45, aku segera berpindah tempat. Tempat yang aku singgahi adalah Balai Kota Semarang. Terlihat juga cewek cantik nan anggun. Senyumnya yang begitu mempesona di depan kamera. Aku bidik cewek cantik dengan busana indah berhiaskan bunga berwarna putih. Kemudian aku mengunjungi ke tempat lain, di Bank Daerah samping Balai Kota Semarang. Wow.... banyaknya,,, dalam batinku. Ternyata lebih banyak dari pada di tempat lain. Aku pun segera membidik wajah-wajah dengan make-up yang begitu serasi dengan kostumnya. Banyak foto yang aku dapatkan. Aku juga ikut berfoto bersama mereka. Setelah menghabiskan waktu foto-foto akhirnya acara segera dimulai. Peserta karnaval pun bergegas memposisikan diri tempat yang tersedia, sesuai pada saat latihan pada hari Kamis, 26 April 2012. Ternyata banyak sekali pesertanya, diperkirakan mencapai 1300. Panitia sibuk mengatur barisan dari depan pintu masuk Balai Kota Semarang sampai depan parkiran Mall Paragon Semarang. Barisan diatur tiga tiga-tiga. Tema yang diambil tahun ini adalah flora-fauna dan nuansa budaya, serta Islam. Aku mencoba mengabadikan (foto-foto) para peserta yang telah lama menunggu, sampai-sampai mereka lelah berdiri dan  kepanasan karena mengenakan gaun-kostum. Karena lelah dan berkeringat, membuat wajah yang penuh make-up menjadi luntur. Para peserta karnaval berdendang mengikuti alunan musikdan membuat warna tersendiri di HUT Kota Semarang ke 465 . Walaupun bagiku tahun ini tidak semarak tahun lalu, namun masyarakat antusias menyaksikan karnaval ini. Aku mencoba masuk ke SD Marsudirini Jl Pemuda untuk ambil gambar yang bagus, tetapi tidak membuahkan hasil, karena dipenuhi warga. Akhirnya aku naik di pos satpam SD Marsudirini. Aku tidak membidik peserta, tetapi aku bidik antusias warga masyarakat menyaksikan karnaval. Terlihat para Suster yang di Susteran Poncol pun ikut menyaksikan. Acarapun sudah dimulai dengan adanya kembang api dan peserta pun mulai berjalan menuju Simpang Lima Semarang. Aku bergegas turun dan mencari tempat untuk membidik. Aku menyusuri Jl Pemuda menuju Tugu Muda Semarang. Macet pun tidak terelakan yang terjadi di Tugu Muda Semarang. Kemudian aku menelusuri kembali Jl.Pandaran Semarang, ternyata sudah dipenuhi warga masyarakat. Waduh....apes deh! Kembali aku menyusuri, di Jl. Pandaran banyak masyarakat memenuhi jalan raya hingga sampai tengah jalan. Di Jalan pandaran tepatnya di depan pusat oleh-oleh bandeng Juwana sangat sesak, mobil tidak bisa bergerak Mobil yang mau menyeberang pun tidak bisa. Akhirnya aku mendapatkan tempat yang sangat strategis, enak untuk membidik. Tepatnya 20 meter sebelum KFC pandaran.Terlihat juga deretan mobil terjebak macet. Mundur kena, maju Kena....ehehehh seperti judul Warkop DKI. Menurutku sih gagal perayaan HUT Kota Semarang ke 465, salah satunya soal ketertiban. Membandingkan tahun lalu tidak seperti ini, pukul 15.00 WIB di Jalan Pemuda Semarang seharusnya sudah ditutup, tetapi kemarin sekitar pukul 17.30 baru ditutup. Kemudian yang terletak di Jl.Pandanaran Semarang dari arah Simpang Lima menuju Tugu Muda belum steril pada jam 17.00. Kemarin sekitar pukul 17.30 masih ada kendaraan yang wira-wiri di Jl.pandanaran. Alangkah baiknya ke depannya, bila mengadakan karnaval diinformasikan melalui media cetak dan elektronik untuk penutupan akses jalur yang dilalui untuk karnaval. Setengah jam aku menunggu jalannya karnaval sambil menikmati dinginnya es teh. setelah itu aku memposisikan diri yang enak untuk membidik. Akhirnya... datang juga..^^ Ketika berlangsung, cuaca pun mulai tidak bersahabat. Sekitar Pukul 19.00 berubah menjadi mendung. Kira-kira jam 19.30 hujan pun rintik-rintik turun. Aku pun mempunyai firasat kalo akan turun hujan lebat seperti tahun sebelumnya. Tiba-tiba Bressss...!! Hujan deras pun terjadi. Peserta dan warga yang sedang keasyikan menonton histeris teriak karena tiba-tiba hujan. Begitu juga dengan peserta. Semua berlarian mencari tempat berteduh. Aku mendapat tempat yang aman untuk berteduh. Tempat yang aku gunakan BRI Syariah Jl.Pandanaran. Tiba-tiba tempat yang aku gunakan berteduh berukuran kira-kira 7 x 8 meter dipenuhi warga masyarakat dan peserta. Di tempat itu ada beberapa peserta pingsan karena fisik yang tidak kuat, mereka kelelahan dan turun hujan. Semoga tahun depan bisa semarak, dan lebih bagus lagi serta masyarakat lebih tertib ketika diatur polisi ketika ditertibkan. Setelah karnaval, dilanjutkan dengan tontonan menarik di Lapangan Simpang Lima Semarang. Walaupun kondisi hujan penonton tetap semarak. Acara tersebut berkat kerjasama warga semarang dan instansi/lembaga/perusahaan yang mendukung, diantaranya MNC TV, Koran Sindo, Seputar Indonesia. (foto terlengkap hub: francisxaviersta 0817709211)

Minggu, 22 April 2012

Kethoprak

Kethoprak kalebu salah sawijining kesenian rakyat ing Jawa Tengah, ananging ugo bisa tinemu ing Jawa Wetan. Kethoprak wis nyawiji dadi budaya masyarakat Jawa Tengah lan biso ngasorake kesenian liyane, umpamane Srandul, Emprak lan sakliyane.
Kethoprak wiwit bebukane awujud dedolanan para priya ing dhusun kang lagi nganaake lelipur sinambi nabuh lesung kanthi irama ana ing waktu wulan purnama ndadari, kasebut Gejog. Ana ing tembe kaering tembang bebarengan ing kampung /dusun kanggo lelipur . Sak teruse ana tambahan kendhang, terbang, lan suling, mula wiwit saka iku kasebut Kethoprak Lesung, kira-kira kadadeyan ing tahun 1887. Sak banjure ana ing tahun 1909 wiwitan dianaake pagelaran Kethoprak kanthi paripurna/lengkap.
Pagelaran Kethoprak wiwitan kang resmi ing ngarsane masyarakat/umum, yakuwi Kethoprak Wreksotomo, dipandegani dening Ki Wisangkoro, sing mandegani kabeh para pria. Carita kang dipagelarake yaiku : Warsa - Warsi, Kendana Gendini, Darma - Darmi, lan sapanunggalane.
Sawise iku pagelaran Kethoprak sansaya suwe dadi lan apike lan dadi klangenane masyarakat, utamane ing tlatah Yogyakarta. Ing kadadeyan sak wise Pagelaran Kethoprak dadi pepak anggone carita lan ugo kaering gamelan.
Anane gegayutan karo pagelaran "teater" para narapraja, mula pagelaran Kethoprak, bisa dibedakke mengkene :
  • Kotekan Lesung : awujud awal mulane Kethoprak lan dadi winih ing tembe mburi dadi pagelaran Kethoprak.
  • Kethoprak Lesung Wiwitan : wiwitane saka kotekan Lesung ana tari-tarian lan jangkep karo carita , panguripane para tani .
  • Kethoprak Lesung : Amujudake pagelaran jangkep lan nganggo carita rakyat kaering gamelan kaya ta gendang, suling, terbang lan lesung. Iki kang bakal lan lahire pagelaran Kethoprak.
  • Kethoprak Gamelan : Wiwitan saka Kethoprak Lesung, dijangkepi karo carita Panji lan ageman 'mesiran' ( Baghdad ).
  • Kethoprak Gamelan Pendopo : carita-caritane ngemungake carita Babad, dipagelarake nganti seprene . Pagelaranne ana ing panggung tanpa payon, nanging wis nyedhaki ana ing Gedhung/panggung , yaiku kasebut Kethoprak Pendapa ( Pagelarane ana ing 'Pendopo').
  • Kethoprak Panggung : Iki pagelaran Kethoprak ingkang pungkasan , yoiku Kethoprak kang di pagelarake ana ing panggung kanti carita campur, awujud carita rakyat, sejarah, babad uga carita adaptasi saka ing nagari manca ([[Sampek Eng Tay’’, Maling saka Bagdad lan sapanunggalane ).
Saiki bisa dipirsani Kethoprak Panggung ana ing tlatah Jawa Tengah lan Jawa Wetan. Pagelarane dadi profesional kanthi amungut bayaran karcis , ugo kanggone para nayaga (pemain ) lan pradangga (penabuh gamelan ) kethoprak wis dadi panguripan. Tehnik pagelaran lan carita digawe luwih apik lan ditindaake kanthi teges lan tumemen. Conto mau bisa dipirsani ana ing Kethoprak "Siswo Budoyo" saking Tulung Agung, Jawa Wetan kang wis misuwur ana ing ngendi wae, dadi klangenane masyarakat.
Rupa-werna carita pagelaran Kethoprak umpama carita rakyat, dongeng, babad, legenda, sejarah lan adaptasi saka nagari manca bisa uga migunaake swasana Indonesia, contone karya Shakespeare : Pangeran Hamlet utawa Sampek Eng Tay. Carita-carita baku: Darma-Darmi, Warsa-Warsi, Kendana-Gendini, Abdul Semararupi (crita Menak), Panji Asmarabangun, Klana Sewandana (crita Panji), Ande-ande lumut, Angling Darma, Roro Mendut, Damarwulan, Ranggalawe, Jaka bodo.
Carita klangenan masyarakat bisa arupa carita pahlawanan, paperangan , carita nglempengake kabeneran biasane ing akhir carita sing gawe bebener, jujur lan baik antuk kamenangan.
Ageman para nayaga pemain di padaake karo carita kang dipagélarake, . Biasane nganggo ageman para Narapraja Jawa wektu jaman kerajaan biyen. Umpama Pangeran Wiroguna, Agemane ngangga Priyayi Jawa Pangeran saka tlatah Jawa Tengah ( Jogaakarta ), Semono uga para prajurit. Nanging ana uga ageman kang arupa simbolis ,umpama Piyantun Wicaksana aweni ageman cemeng , Piyantun suci awerni agemman pethak, ingkang kendhel agemane abang. Carita Baghdad agemane kasebuat "Mesiran" nganggo ageman sutra. Agemen Wayang wong uga ana gegayutan karo Kethoprak, utamane Kethoprak pesisran tlatah Jawa sisih pesisir Lor. Umpamane carita Angling Darma, Menak Jingga/Damarwulan.
Uga ana ageman kasebut basahan, yokuwi ageman kejawen ananging cinampur ing liyan bisa arupa ageman batik, lan beskap uga surban (biasane nganggo uga jubah). Ageman basahan iki biasane ana ing carita Menak utawa carita para wali/para ulama Islam ing sajerone praja.
Sing dadi ciri wancine Kethoprak : Carita kanthi para nayaga/pemain , kaering tabuhan (gamelan) ,Ageman tembang kang dadi tetenger kethoprak . Rembugan uga biasa nganggo tembang ,dadi tembang bisa mujudake dadi pangiring adegan, dialog, monolog ( rerasan dewe) utawa dadi narasi.
Wondene unining gamelan kanggo ngeringi tembang, adegan, ilustrasi swasana carita, swasana dramatik, kang mbedaake adegan siji lan sijine,
Pengiring
Kendang, saron, ketuk, kenong, kempul lan gong bumbung utawa gong kemada. Gamelan jangkep biasane nganggo suling utawa terbang. kanthi tambahan keprak.
Para nayaga kethoprak biasane pinter anggone "akting" uga kudu pinter nyanyi & nari .
Para pradangga gamelan, bebarengan karo sinden (waranggono),ngeringi irama gamelan kethoprak.
Senadyan sing dienggo basa Jawa nanging kudu nganggo "unggah-ungguh" basa. bisa nganggo Jawa biasa (ngoko), basa krama, lan Krama inggil.
Ing wektu saiki, ana ing wolak waliking jaman, kethoprak uga duwe "improvisasi" kanthi wujud dagelan kethoprak. Umpamane awujud Dagelan lan Kethoprak Humor ana ing siaran Radio lan televisi. Carita bakune padha nanging dipagelarake kanthi dagelan . mligi ngemungake lan nyenengake pamirsane.Bab paugeran nomer loro. Kethoprak mau biasane wis ora nganggo unggah ungguh basa lan tatakrama, sing baku bisa gawe geguyu.Carita lan basa ora nganggo paugeran baku. Mula bisa kasebut Kethoprak ora jangkep.

Jumat, 20 April 2012

Jelajah Balige, Samosir, Sumatra Utara











Dokumen Nokia 9300 ing Tahun 2009

Camera: HP SE K810 - Francois Veri dan Camera Samsung
kulo sak rencang mubengi Balige pas liburan semesteran. Kulo pas dicaosi pirsa badhe jelajah wonten ing Balige, pikir kulo jelajahipun wonten Bali-Denpasar. Wah, jebulno.... wonten Samosir. Rencang-rencang padha nggeguyu. Wassyemmmm.... Ternyata Balige, menika salah satunggaling kecamatan - ibukota wonten ing tanah Toba Samosir, Sumatra Utara, Indonesia. Wonten kutho menika wanten satunggaling museum ingkang isinipun benda paninggalan sejarah ing tanah Batak,inggih menika museum T.B. Silalahi. Wonten ing kecamatan menika wonten satunggaling komplek sekolah inggih menika Soposurung, sedoyo sekolahan celak kaliyan sekolah sanesipiun. Amargi celak, sekolah-sekolah menika mboten wonten tawuran. Suasana 'Belajar Mengajar" benten, guru ngajar nggih sakeco. Menika saget dados tuladha pendidikan ing nagari Indonesia.
Jelajah wonten ing Samosir benten sanget jelajah wonten ing kutha-kutha sanesipun amargi adat lan budaya, wonten warna ing Samosir menika. Persis ing tlatah Ngayogyakarta Hadiningrat, Pulau Dewata Bali, Surakarta Hadiningrat.