Selasa, 07 Februari 2012

Jalan-Jalan di Pecinan Semarang


Imlek Tahun ini yang jatuh pada hari Senin 23 Januari lalu lumayan rame, karena tahun ini adalah shio naga air. Dimana Naga Air katanya banyak rejeki. Di Semarang perayaan imlek sangat meriah, apalagi di daerah Pecinan Semarang. Bila Memasuki kawasan pecinan Semarang ibaratkan memasuki wilayah 1001 klenteng. Ya, karena hampir di setiap ujung gang di kawasan itu terdapat klenteng dimana setiap klentengnya mempunyai keistimewaan sendiri. Dari sudut nilai historis yang nyata samapai legenda yang besar se-antero Nusantara akan kita jumpai jika kita menjelajah klenteng klenteng di Kota Semarang. Ada 11 klenteng besar di Kota Semarang, 10 di antaranya terdapat di kawasan pecinan, antara lain Klenteng Siu Hok Bio, Hoo Hok Bio, Kong Tik Soe, Tay Kak Sie, Tong Pek Bio, Liong Hok Bio, Tek Hay Bio, Wie Wie Kiong, See Hoo Kong, dan Klenteng Grajen . Sedangkan untuk Klenteng Sam Poo Kong berada di kawasan Gedung Batu. Masing-masing klenteng itu mempunyai nilai historis tersendiri.





Seperti Klenteng Sam Poo Kong yang sudah akrab di telinga masyarakat Kota Semarang. Di samping menyimpan legenda keperkasaan Laksamana Cheng Ho, klenteng ini juga dikunjungi masyarakat dari berbagai agama, termasuk agama Islam. Laksamana Cheng Ho adalah orang China tetapi beragama Islam. Di klenteng ini tersimpan kemudi dan jangkar kapal Laksamana Cheng Ho yang digunakan pada waktu berlayar ke Pulau Jawa sekitar tahun 1406.

Kemudian klenteng Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul Timur yang saat ini merupakan klenteng tertua di kawasan pecinan Semarang. Klenteng ini didirikan tahun 1753 oleh warga Pecinan Lor sebagai ungkapan syukur atas rezeki yang diterima oleh penduduk sekitar Cap Kauw King. Klenteng ini masih mempunyai warisan yang berusia nisbiah kuno yaitu berupa cincin pegangan pintu dan ukiran pada ambang atas pintu klenteng.

Sedang Klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok, merupakan klenteng induk bagi seluruh klenteng yang ada di Semarang. Nama klenteng yang menyiratkan napas Budhisme ini menjadi simbol heroisme etnis China di Semarang. Selain menjadi monumen perlawanan masyarakat China terhadap penjajahan Belanda, klenteng ini juga menjadi simbol perlawanan masyarakat China terhadap kecurangan saudagar Yahudi yang menguasai Klenteng Sam Poo Kong.

Klenteng terbesar di kawasan pecinan Kota Semarang adalah Klenteng Wie Wie Kiong di Jalan Sebandaran I. Klenteng ini memiliki kolam hias di atrium depannya yang menjadi simbol bahwa semua masalah bisa diselesaikan. Keunikan klenteng ini adalah adanya beberapa patung manusia yang bentuknya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa.

Satu lagi klenteng besar di Jalan Sebandaran I adalah Klenteng See Hoo Kiong. Berbeda dengan klenteng lain yang memuja dewa-dewi pelindung, klenteng ini memuja Dewa Pedang. Keunikan klenteng ini adalah memiliki sumur yang terletak di halaman depan yang menurut legendanya merupakan tempat ditemukannya pedang yang kemudian dipuja.

Salah satu klenteng besar yang merupakan klenteng marga adalah Klenteng Tek Hay Bio. Klenteng yang berada di Jalan Gang Pinggir ini milik marga Kwee. Tek Hay Bio dapat diartikan sebagai Kuil Penenang Samudera sehingga klenteng ini disebut juga sebagai Klenteng Samudera Indonesia, dan peran ini dijabarkan dalam ornamen dengan dominasi unsur laut.

Selain menikmati keindahan klenteng yang dibangun ratusan tahun lalu, bila kita menyusuri kawasan pecinan Semarang, kita bisa menikmati suasana kehidupan masyarakat Tionghoa yang masih menjunjung tinggi tradisi. Belum lagi masakan khas China yang bisa dinikmati di beberapa rumah makan yang ada di kawasan ini.

Sebenarnya ada beberapa kawasan pecinan lain di wilayah Jawa Tengah, seperti di Pekalongan dan Lasem (Rembang).

Kawasan Pecinan Lasem misalnya, memiliki keunikan dengan Kota Beteng-nya. Disebut Kota Beteng karena kawasan pecinan Lasem dikelilingi beteng atau tembok yang membatasinya dengan kawasan penduduk asli. Bangunan2 besar berasitektur China milik saudagar (pedagang kaya) waktu itu, banyak terdapat di kawasan ini.

Lasem bisa disebut juga sebagai Tiongkok-nya Jawa (The Tiongkok of Java). Pada zaman Kerajaan Singosari, Lasem sudah menjadi persinggahan para pedagang China. Konon, Lasem menjadi tempat pendaratan pertama kali bagi para China perantauan yang datang di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, Lasem menjadi salah satu simpul segi tiga candu di Jawa, bersama-sama dengan Juwana dan Rembang.

Kejayaan perdagangan candu masih terlihat dari peninggalan berupa rumah2 tradisional dan vila2 China yang banyak dijumpai di daerah ini. Rata2 rumah berada di areal tanah seluas 2-3 hektar. Salah satu yang terbesar adalah rumah yang terletak di Jalan Dasun yang hingga masih terjaga keasliannya. Di halaman samping kanan terdapat makam keluarga yang usianya sudah ratusan tahun. Atmosfer dan keunikannya menarik perhatian sutradara film “Ca Bau Kan” yang kemudian memilih rumah ini untuk lokasi shooting.

Sebagaimana kawasan pecinan lainnya, di Lasem juga dijumpai beberapa klenteng. Klenteng2 di Lasem memiliki keunikan, bangunan fisik dan legenda yang hidup menunjukkan proses akulturasi yang harmonis antara China perantauan dan masyarakat setempat.

Seperti Klenteng Cu An Kiong yang merupakan klenteng pemujaan dewi pelindung laut Thian Siang Sing Boo. Masyarakat setempat, terutama nelayan percaya bahwa laut di Lasem dikuasai Dewi Thian Siang Sing Boo. Karena itu, sebelum melaut, mereka datang ke klenteng untuk minta perlindungan Dewi Thian Siang Sing Boo. Dengan begitu mereka percaya akan selamat selama melaut dan mendapatkan hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Ada Imlek, past ada Cap Go Meh.

Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari.

Tidak ada komentar: