Rabu, 26 Januari 2011

Petualangan Veri ke Nusantara IV (riau)



Panen Madu di Nusantara IV Pangkalan Kerinci

Minggu, (13/05/2007) seperti biasa, aku menghabiskan waktu libur untuk berpetualaang dengan sepeda. Petualangan kali ini adalah Nusantara IV Pangkalan Kerinci Riau. Lima jam lamanya aku menempuh dengan sepeda Polygon Astroz. Jalan terjal dan berbatu merupakan tantangan tersendiri bagiku, serta jalan yang naik turun adalah ‘santapan’ nikmat.

Memang perjalanan menuju pangkalan kerinci melalui medan offroad sangat besar manfaatnya. Apa lagi udara pagi yang membuat badan ‘semriwing’. Pemandangan alam yang indah, membuat aku tidak terasa lelah. Danau, sungai, pohon sawit yang luas membentang serta kebun karet yang selalu menemani perjalananku.Tiba-tiba aku terkejut dan terpana ketika melihat seekor biawak besar yang mati tergilas kendaraan di tengah jalan. Mendekatinya saja aku tak sanggup dan takut, siapa tahu ada biawak yang lain. Kita ketahui di Riau banyak hewan mulai dari yang besar, sampai yang kecil. Biawak, ular cobra, semut hutan, kera, buaya, babon, lutung, babi hutan dan lain-lain.

Di tengah perjalanan, aku sempatkan untuk istirahat sejenak karena mulai kelelahan. Kutemui beberapa orang masuk hutan dengan membawa tongkat panjang, daun kelapa sawit yang kering, pisau, parang, ember dan ranting basah yang masih ada daunnya. Aku penasaran, apa yang akan mereka lakukan. Aku beranjak menemui mereka dan menanyakan sesuatu yang akan mereka lakukan. Ternyata, mereka ingin mencari madu di tengah hutan. Aku minta izin untuk ikut bersama mereka. Mereka pun mengizinkannya.

Satu jam lamanya di tengah hutan untuk mencari sarang lebah yang siap panen. Akhirnya, dapat juga yang mereka cari. Sarang yang mereka dapat pas untuk panen. Mereka segera menyiapkan peralatan. Aku sendiri pun ikut membantu menyiapkan peralatan. Sebelum panen, mereka melakukan ritual (doa) agar tidak ada mara bahaya, dan selalu dilindungi. Kita tahu bagaimana situasi/keadaan dalam hutan? Usai berdoa, mereka kemudian membakar daun kelapa sawit yang kering, dan daun-daunan basah untuk dijadikan asap. Tujuan itu untuk mengusir lebah-lebah yang ada dalam sarang. Asap pun jadi. Mereka langsung mengasapi sarang lebah, dan seorang diantara mereka langsung memanjat pohon yang terdapat sarang lebah. Selanjutnya pemanjat tersebut (pak Ali) mengiris sarang lebah, dan memasukan ke dalam ember yang sudah disiapkan. Supaya si lebah kembali membuat sarang, Pak Ali harus menyisakan sarang tersebut. Tugas Pak Ali pun selesai, dan turun dari pohon. Mereka pun segera memanjatkan doa syukur, supaya di lain waktu mereka diberi rejeki lagi.

Saat yang aku tunggu tiba, yaitu pemerasan sarang lebah. Mereka memeras sarang lebah dengan alat yang sangat sederhana sekali, yaitu kain tipis. Mereka pun memeras dengan hati-hati, supaya madu tidak berserakan kemana-mana. Madu murni pun didapatkannya. Mereka tidak membuang ampas /sarang lebah perasan, karena nantinya akan dimasak untuk makan siang. Usai memeras sarang lebah, saatnya untuk masak makan siang. Tugas aku adalah membuat api untuk memasak. Sambil memasak kita jadi ngobrol bareng. Dalam satu jam lebih aku langsung dekat, dan mudah beradaptasi serta sosialisasi. Tanya ini, Tanya itu. Aku pun jadi tahu, perbedaan madu asli/ murni dengan madu yang tidak asli. Ada beberapa cara untuk mengetes keaslian madu. Pertama, jika madu itu di masukan freezer (Bahasa ngledoknya: Kulkas) madu itu tidak membeku. Kedua, jika madu itu ‘didekatkan’ dengan semut, semut itu tidak berani mendekat.

Masakan pun sudah tersaji di depan mata. Aku penasaran hasil masakan orang itu. Bagaimana cara makannya? Apa rasanya? Aku mencicipi masakan itu. Rasa manis, dan selalu ingin menambah.

Usai makan siang dengan sarang lebah, aku lanjutkan membantu mereka memasukan madu murni ke dalam botol minuman dengan disaring. Selesai disaring, kita keluar dari hutan dan kembali kerumah masing-masing, dan aku kembali melakukan perjalanan pulang. Tidak lupa aku ucapkan terimakasih kepada mereka, dan berpamitan.

Dalam perjalanan pulang, aku melihat sebuah rawa yang lumayan luas dan dikelilingi pohon sawit. Bau di rawa itu tidak sedap, karena banyak ikan yang mati. Ikan mati tersebut karena adanya pencemaran limbah pabrik sawit yang ada didekatnya. Aku meliahat banyak anak yang mencari ikan yang masih hidup di rawa tersebut dengan menggunakan jarring dan tangkelak. Lima jam tak terasa, dan sudah 40 Km perjalanan yang aku tempuh dari Perawang. Tiga L yang aku rasakan (lemah letih dan lesu). Tenaga untuk pulang ke Perawang sudah tidak ada. Terpaksa aku menunggu bus Kerinci-Perawang. Bus pun lewat, dan aku numpang sampai Perang dengan ongkos Rp 6000. Sampai di sekolah langsung mencari makanan yang bergizi dan pudding. Tiga L pun sudah lewat. Senin pagi (14/05/2007) aku mengajar dengan semangat dan memberikan pelajaran Kebudayaan Riau dengan materi menghargai sumber daya alam. Pas sekali pengalaman hari Minggu itu dengan materi tersebut.

Tidak ada komentar: