Selasa, 09 Juli 2013

Perumpamaan Bapa Mengasihi Anaknya

 Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, semuanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Lalu bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya, “Orang ini menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka. Lalu Ia menyampaikan perumpamaan ini kepada mereka, “Ada seseorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang warga negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Lalu bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebut anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Ambillah anak lembu yang gemuk itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Lalu mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar suara musik dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu yang gemuk, karena ia mendapatnya kembali dalam keadaan sehat. Anak sulung itu marah ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan membujuknya. Tetapi ia menjawab ayahnya, Lihatlah, telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu yang gemuk itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala milikku adalah milikmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk 15:1-3,11-32)

Cerita yang ada dalam bacaan Injil di atas telah lama dikenal sebagai “perumpamaan anak yang hilang”. Sebenarnya cerita ini dimaksudkan bagi para pembacanya untuk memfokuskan perhatian mereka pada sang ayah/bapak, bukan pada salah satu anak bapak itu, dan barangkali secara lebih akurat lagi dinamakan “perumpamaan seorang bapak yang mengasihi”.
Latar belakang cerita ini adalah bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi marah ketika melihat Yesus yang mengasosiasikan dirinya dengan orang-orang yang dikenal sebagai para pendosa. Yesus menceritakan perumpamaan ini untuk mengungkapkan ide bahwa Allah menghendaki keselamatan bagi para pendosa dan berhasrat untuk mengampuni dosa-dosa mereka. Yesus ingin meyakinkan para pendengar-Nya tentang kebenaran bahwa Allah adalah ‘seorang’ Bapa yang mengasihi dan memahami anak-anak-Nya.

Yesus menggambarkan anak yang bungsu begitu rupa realistisnya sehingga berabad-abad lamanya gambaran inilah yang menarik perhatian kebanyakan orang. Gambaran ini adalah tipikal bagi seorang anak muda yang ingin menjadi independen, bebas dari kontrol orangtua, untuk pergi dalam suatu petualangan pribadi … untuk melihat dan melakukan semua hal yang tidak pernah merupakan bagian dari kehidupannya di dalam rumahnya. Akibat-akibat dari petualangan seperti ini juga tipikal: yang bersangkutan menemukan nilai sesungguhnya dari uang, kebutuhan akan teman-teman sejati, pentingnya sense of belonging.

Kita tahu apa dan bagaimana yang dirasakan oleh si anak bungsu. Kita tahu bahwa apa artinya hidup sendiri, merasa bersalah, dirundung rasa takut. Setelah dia menghambur-hamburkan uangnya, semua teman-temannya (hanya pada waktu senang saja) meninggalkan dirinya. Si anak bungsu ditinggalkan sendirian dengan kesusahan hidupnya, rasa bersalahnya dan ketakutannya. Dia mulai menyadari betapa buruk kesalahan yang telah dibuatnya ketika meninggalkan ayahnya.
Anak yang sulung dalam perumpamaan ini juga seorang pribadi yang dapat kita pahami. Ketika dia pulang dari kerjanya di ladang milik ayahnya, dia marah ketika mengetahui berlangsungnya pesta bagi saudara laki-lakinya “yang tak berguna” itu. Sekilas lintas kelihatannya si anak sulung ini seakan dikhianati, namun sedikit ruang saja bagi kita untuk membenarkan sikap dan perilakunya yang dipenuhi kecemburuan. Seyogianya dia merasa berbahagia karena adiknya sudah menyadari kekeliruan yang dibuatnya. Marilah kita lihat lagi protes si anak sulung kepada ayahnya: “Lihatlah, telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku” (Luk 15:29). Terasa bahwa anak sulung itu memandang bekerja untuk ayahnya sebagai suatu bentuk perbudakan dan ketaatannya adalah ketaatan seorang pekerja bayaran, bukan karena relasi antara anak dan ayahnya. Jelas kelihatan bahwa dia melakukan pekerjaan dengan ekspektasi pada suatu hari dia dapat memperoleh ganjaran besar dari ayahnya. Pekerjaannya dimotivasi oleh kepentingan diri, bukan cintakasih. Si anak sulung ini dapat dikatakan mewakilkan para ahli Taurat dan orang Farisi yang mengeluh dan memprotes perlakuan penuh belas kasih Yesus terhadap para pendosa.

Apabila kita sudah mengetahui kebenaran tentang kedua anak laki-laki bersaudara itu, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya cerita ini dimaksudkan bagi kita untuk memfokuskan perhatian kita pada sang ayah agar dapat dapat memperoleh sesuatu gambaran tentang Allah. Ketika si anak bungsu mengungkapkan ide untuk meninggalkan rumah, sang ayah sungguh merasa susah-hati. Ia tahu bahaya-bahaya apa saja yang akan dihadapi anaknya. Namun pada saat bersamaan dia juga memahami kebutuhan anaknya dan adalah hak si anak untuk menjadi seorang bebas. Keputusan sang ayah untuk tidak mau mendominir atau mengontrol anaknya pada saat itu dalam kehidupan anaknya karena dia sadar bahwa cintakasih untuk menjadi sejati harus diberikan secara bebas, artinya tidak dapat dipaksakan. Jadi, ketika si anak “ngotot” untuk memperoleh kebebasannya, sang ayah dalam kebaikannya yang penuh kasih dengan hati sedih memberikan persetujuannya.
PARABLE OF THE LOST SONSetelah si anak bungsu meninggalkan rumah, sang ayah berharap bahwa pengalaman dalam petualangannya akan mengajar dia tentang nilai-nilai sejati, karena kelihatannya kata-kata sang ayah tidak didengarkan. Setiap hari sang ayah naik ke atas bukit dan melihat jalan yang membentang sejauh matanya memandang dengan pengharapan bahwa siapa tahu dia akan melihat dari kejauhan anak bungsunya yang sedang berjalan pulang. Pada suatu hari pengharapannya dipenuhi. Dia berlari menjemput anak bungsunya, lalu dia merangkulnya dan dengan ketidaksabaran yang mengungkapkan emosinya secara mendalam. Bahkan dia tidak memberi kesempatan kepada anaknya menyelesaikan permohonan ampunnya yang sudah dihafalkan baik-baik olehnya. Si anak bungsu mengetahui bahwa dia pantas mendengar ayahnya mengucapkan kata-kata keras, namun apa yang didengarnya adalah penerimaan penuh kasih dari sang ayah. Sang ayah memang tidak menikmati penghinaan atas diri anak-Nya sendiri.
O, betapa besar kasih sang ayah bagi si anak bungsu. Namun kasihnya kepada anaknya yang sulung pun tidak berkurang sedikitpun. Sang ayah menolak untuk dipaksa berpihak kepada salah satu anaknya. Dua-dua anaknya telah menunjukkan kesalahan mereka, namun sang ayah tidak pernah berhenti mengasihi kedua-duanya. Dengan segala kelemahan dan kekurangan masing-masing, sang ayah mengasihi kedua-duanya karena mereka memang adalah anak-anaknya.
Dalam artian tertentu, kita adalah seperti si anak bungsu, namun kita juga seperti si anak sulung. Di mana pun kita berdiri, Yesus ingin agar kita mengetahui bahwa Allah memberikan kepada kita kebebasan karena Dia ingin suatu kasih yang diberikan secara bebas, tidak dipaksakan. Yesus juga menginginkan kita mengetahui bahwa bahkan setelah melakukan kesalahan yang paling tolol dan dosa-dosa yang paling tragis sekali pun, Allah akan tetap mencari kita dengan tangan-tangan terbuka agar dapat mengambil kita kembali sebagai anak-anak-Nya. Allah kita adalah sungguh-sungguh ‘seorang’ Bapa yang mengasihi dan memahami kita, anak-anak-Nya.

Tidak ada komentar: